Custom Search

Rencana Pengaturan Standar ILO tentang Pekerja Rumah Tangga dan Pemahaman Konvensi PBB tentang Buruh Migran

Rencana Pengaturan Standar ILO tentang Pekerja Rumah Tangga dan Pemahaman Konvensi PBB tentang Buruh Migran
 
 
Rencana Pengaturan Standar ILO tentang Pekerja Rumah tangga Sampai saat ini belum ada konvensi ILO mengenai pekerja rumah tangga (PRT).
ILO baru sampai pada tahap menyampaikan kuesioner terkait dengan rencana pengaturan pekerja rumah tangga kepada negara anggotanya yang isinya meminta kepada negara anggota untuk memberikan tanggapan dan opsi apakah pengaturan tersebut dalam bentuk konvensi, rekomendasi, atau konvensi dilengkapi dengan rekomendasi.

Untuk memenuhi permintaan ILO tersebut, Depnakertrans telah melakukan pembahasan dengan Depkes, BAPPENAS, Menko Kesra, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dan hasilnya sepakat untuk mengusulkan dukungan terhadap standar internasional di bidang Pekerja Rumah Tangga dalam bentuk Rekomendasi.

Hal ini menunjukkan kepada dunia internasional mengenai adanya political will Pemerintah Indonesia dalam hal pengaturan dan perlindungan Pekerja Rumah Tangga secara internasional. Adapun pertimbangan standar internasional mengenai Pekerja Rumah Tangga dalam bentuk Rekomendasi , adalah bahwa Rekomendasi ILO merupakan pedoman bagi negara anggota untuk menyusun suatu kebijakan nasionalnya.

Sehingga apabila nanti disepakati suatu pengaturan nasional bagi perlindungan pekerja rumah tangga kita dapat menjadikan Rekomendasi ILO itu sebagai acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan nasional, dengan demikian standar dalam bentuk Rekomendasi ini tidak mengikat. Apabila standar tersebut dalam bentuk Konvensi, walaupun tidak ada kewajiban untuk meratifikasinya namun tujuan Konvensi itu diaqdopsi dengan harapan agar negara anggota dapat meratifikasinya, dan apabila kita meratifikasi maka Konvensi tersebut menjadi hukum positif di Indonesia.

Rencana pengaturan Standar Interansional tentang Pekerja Rumah Tangga prosesnya masih panjang. Masukan negara anggota secara tripartit yang akan disampaikan dalam waktu dekat ini, baru akan dirumuskan oleh ILO dan menjadi bahan sidang ILC pada bulan Juni 2010. Hasil pembahasan pada sidang ILC 2010 tersebut akan kembali disampaikan kepada negara anggota untuk dimintakan tanggapan. Tanggapan negara anggota tersebut menjadi bahan Sidang ILC tahun 2011 dan kemudian diadopsi suatu standar internasional yang harus disepakati oleh semua negara anggota dengan kemungkinan,apakah nantinya disepakati dalam bentuk konvensi, rekomendasi, atau konvensi dilengkapi dengan rekomendasi , dan / atau bahkan tidak terjadi kesepakatan untuk mengadopsi suatu standat internasional.

Sebagai klarifikasi bahwa rencana dibuatnya Standar Internasional PRT bukan semata merupakan domain Depnakertrans, tetapi Lintas-Departemen antara lain : Departemen Hukum dan HAM, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Meneg Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial. Sebagai tindak lanjut, Depnakertrans akan mengadakan lagi rapat koordinasi dengan mengundang Departemen-departemen terkait untuk membahas permasalahan ini.
Untuk semua PERJANJIAN INTERNASIONAL dikoordinir oleh Departemen Luar Negeri.

II.    Pemahaman mengenai konvensi PBB tentang Buruh Migran
Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dideklarasikan di New York pada tanggal 18 Desember 1990 dan diberlakukan sebagai hukum pada tanggal 1 Juli 2003. Sebagai bagian dari anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi ini pada tanggal 22 September 2004, namun penandatanganan bukan berarti meratifikasi.
 
Sampai saat ini, negara yang meratifikasi konvensi Buruh Migran baru sekitar 35 (tiga puluh lima) negara.
Ketentuan yang diatur di dalam Konvensi Buruh Migran antara lain perlindungan hak berserikat bagi pekerja migrant, tidak boleh mem-PHK pekerja migrant, akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan, dan akses untuk pindah bekerja dan dapat bekerja mandiri bagi pekerja migrant. Dengan demikian substansi Konvensi Buruh Migran tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
 
Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi ini dengan pertimbangan bahwa apabila konvensi ini diratifikasi maka hanya akan melindungi pekerja migrant dan anggota keluarganya di Indonesia, dan pengesahan ini tidak bisa menjangkau perlindungan bagi TKI di negara tujuan penempatan. Konvensi ini akan mempunyai makna apabila negara tujuan penempatan juga meratifikasi konvensi inisehingga berlaku asas resiprokal.
 
Selain itu Konvensi Buruh Migran juga memiliki kelemahan yaitu tidak mengatur perlindungan kepada tenaga kerja perempuan, sedangkan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagian besar adalah tenaga kerja perempuan. Sehingga dalam melakukan pemahaman terhadap ketentuan Konvensi Buruh Migran harus lebih hati-hati.
 
Depnakertrans telah melakukan pertemuan antar departemen membahas Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dengan mengundang Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Kabinet dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Rekomendasi yang disampaikan bahwa Konvensi Buruh Migran masih memerlukan kajian lebih mendalam dengan tetap mempertimbangkan prinsip Kehati-hatian sebelum dilakukan pengesahan.
 
Hasil Rakor pelaksanaan RAN-HAM di Cisarua tanggal 3 s.d 4 April 2008 yang diprakarsai oleh Ditjen HAM, menyatakan ratifikasi terhadap Konvensi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya belum mendesak,karena itu perlu pengkajian yang lebih mendalam, prinsip kehati-hatian,dan benar-benar memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia. Dalam draft RAN-HAM yang ke-3 (ketiga) Tahun 2010 s.d 2014, konvensi buruh migran kembali dicantumkan untuk diratifikasi, namun dalam urutan terakhir tidak prioritas untuk diratifikasi.
 

Absenteeism Feedback Intervention (AFI) untuk Mengurangi Perilaku Membolos Kerja

Absenteeism Feedback Intervention (AFI) untuk Mengurangi Perilaku Membolos Kerja
 
 
Perilaku membolos kerja merupakan sebuah problem serius yang terjadi dalam organisasi (Goodman & Atkin, 1984), sementara beberapa penulis telah mengkritik kegagalan dari penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan metode yang dapat mengurangi perilaku membolos kerja tersebut (Dalton & Mesch, 1991).
 
Salah satu penelitian yang menarik untuk mengurangi perilaku membolos kerja ini adalah metode pelatihan manajemen diri untuk meningkatkan kehadiran dalam kerja (Frayne & Latham, 1987; Latham & Frayne, 1989). Meskipun tingkat efektivitas metode ini cukup baik (menurut hasil yang sudah ada), di sisi lain ternyata metode ini membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sehingga beberapa peneliti mencoba melakukan metode yang lain melalui sejumlah penelitian.
 
Dalam penelitian ini, Gaudine & Saks (1996) mencoba menerapkan metode Absenteeism Feedback Intervention (AFI) untuk mengurangi perilaku membolos kerja. Cara yang dipakai adalah memberikan feedback kepada pekerja yang menjadi sampel. Sampel pekerja diambil dari sebuah klinik dan dibagi menjadi beberapa kelompok sampel (lebih jelasnya ada dalam jurnal). Feedback yang diberikan berupa surat yang berisi laporan seberapa banyak mereka membolos kerja dalam satu periode sampel (periode sampel adalah rentang waktu saat presensi mereka dicatat). Pemberian surat ini dilakukan 3 kali, yaitu : awal Januari 1996, awal Mei 1996, dan awal September 1996. Perlu diketahui, bahwa pemberian surat ini tidak disertai ancaman atau hukuman bagi mereka yang membolos, namun hanya sekedar catatan/rekaman presensi mereka selama bekerja agar mereka mengetahui seberapa sering mereka membolos.
 
Sampel pekerja yang diambil merupakan gabungan dari pekerja yang rajin dan pekerja yang kerap membolos. Surat dikirimkan kepada semua pekerja, kemudian keesokan harinya setelah pekerja menerima surat pertama, muncul reaksi dari para pekerja yang rajin. Mereka dengan bangga menunjukkan surat tersebut kepada rekan kerjanya, sementara para pekerja yang kerap membolos berperilaku seolah-olah mereka tidak pernah menerima surat semacam itu.
 
Di akhir periode ketiga, setelah surat ketiga diberikan, data-data yang ada dianalisis menggunakan ANCOVA, dan didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa perilaku membolos para pekerja mengalami pengurangan/penurunan yang signifikan sesudah surat kedua diberikan (jadi saat pemberian surat ketiga, perilaku membolos para pekerja sudah berkurang).
 
Kesimpulan yang bisa diambil, intervensi yang dilakukan peneliti ternyata dapat mengurangi perilaku membolos para pekerja tanpa menggunakan efek jera yang berlebihan, sehingga tidak timbul reaksi yang ekstrim dari pekerja yang menjadi sampel.

Komentar saya :
" Menurut saya, penelitian di atas rasanya patut dicoba dan diterapkan di lingkungan kita. Metode ini relatif murah dan mudah diterapkan, meskipun hasil yang kita dapatkan belum tentu sama, karena penelitian ini berbasis di Kanada. Namun saya rasa tidak ada ruginya untuk kita coba terapkan."

Sumber :
Journal of Organizational Behaviour.22, 15-29 (2001).

Disampaikan oleh :
Don Baskara-PS/05019
http://forum.psikologi.ugm.ac.id/index.php?topic=69.0

Industrial relations

Industrial relations

 
Labour relations is an important factor in analyzing "varieties of capitalism", such as neocorporatism (or corporatism), social democracy, and neoliberalism (or liberalism).

Labour relations can take place on many levels, such as the "shop-floor", the regional level, and the national level. The distribution of power amongst these levels can greatly shape the way an economy functions.

Another key question when considering systems of labour relations is their ability to adapt to change. This change can be technological (e.g., "What do we do when an industry employing half the population becomes obsolete?"), economic (e.g., "How do we respond to globalization?"), or political (e.g., "How dependent is the system on a certain party or coalition holding power?").

Governments set the framework for labor relations through legislation and regulation.

In Australia industrial relations is the commonly used term, though in recent years the term workplace relations has also become common. This was a prominent issue in the defeat of the centre-right Howard Liberal government at the 2007 federal election, who with a Senate majority had introduced the WorkChoices policy.

The academic discipline of labor studies is closely related to and often studied and taught in conjunction with the study industrial and labor relations in english language universities.

Contents

  • 1 Perspective theories
    • 1.1 Unitary perspective
    • 1.2 Pluralistic perspective
    • 1.3 Marxist/Radical Perspective

Perspective theories

When studying the theories of industrial relations, there are three major perspectives that contrast in their approach to the nature of workplace relations. The three views are generally described as the unitary, pluralist and Marxist perspectives. The Marxist perspective is sometimes referred to as the Conflict Model. Each offers a particular perception of workplace relations and will therefore interpret such events as workplace conflict, the role of trade unions and job regulation vary differently.

Unitary perspective

In Unitarianism, the organization is perceived as an integrated and harmonious whole with the ideal of "one happy family", where management and other members of the staff all share a common purpose, emphasizing mutual cooperation. Furthermore, unitarism has a paternalistic approach where it demands loyalty of all employees, being predominantly managerial in its emphasis and application.

Consequently, trade unions are deemed as unnecessary since the loyalty between employees and organizations are considered mutually exclusive, where there can't be two sides of industry. Conflict is perceived as disruptive and the pathological result of agitators, interpersonal friction and communication breakdown.

Pluralistic perspective

In pluralism the organization is perceived as being made up of powerful and divergent sub-groups, each with its own legitimate loyalties and with their own set of objectives and leaders. In particular, the two predominant sub-groups in the pluralistic perspective are the management and trade unions.

Consequently, the role of management would lean less towards enforcing and controlling and more toward persuasion and co-ordination. Trade unions are deemed as legitimate representatives of employees, conflict is dealt by collective bargaining and is viewed not necessarily as a bad thing and, if managed, could in fact be channeled towards evolution and positive change.

Marxist/Radical Perspective

This view of industrial relations looks at the nature of the capitalist society, where there is a fundamental division of interest between capital and labour, and sees workplace relations against this history. This perspective sees inequalities of power and economic wealth as having their roots in the nature of the capitalist economic system. Conflict is therefore seen as inevitable and trade unions are a natural response of workers to their exploitation by capital. Whilst there may be periods of acquiescence, the Marxist view would be that institutions of joint regulation would enhance rather than limit management's position as they presume the continuation of capitalism rather than challenge it. There are two variants of this view - the pessimist view propounded by Lenin, Trotsky and Michels and the optimist view propounded by Marx and Engels.

http://en.wikipedia.org/wiki/Industrial_relations

7 Teknik Berpolitik Di Kantor Yang Sehat

7 Teknik Berpolitik Di Kantor Yang Sehat

 

Ooops………….  Berpolitik di kantor ?   Ogah ah… 

Ya .. itulah persepsi yang saat ini masih banyak diyakini oleh banyak karyawan, meskipun ironisnya, secara tidak di sadari, mereka juga melakukan "politik" praktis di pekerjaan mereka sehari-hari.  Bahkan ada yang sampai tingkat yang memprihatinkan dan menyedihkan.

Nah supaya kita tidak melakukan praktek-praktek politik kotor sebagaimana "yang diyakini oleh masyarakat bahwa politik itu kotor", ada baiknya kita kenali tips ber POLITIK SECARA SEHAT di kantor.

All office politicking relies upon a simple concept:

the biggest help (and the biggest hindrance) to reaching your goals is other people.

Tulisan Kelly Pate Dwyer di website BNet ini saya coba terjemahkan supaya dapat lebih berguna bagi teman-teman praktisi HR lainnya.

Tindakan dan perbuatan apa saja yang perlu dilakukan agar memenangkan "keberpihakan teman" dan mampu memberikan pengaruh terhadap orang lain ?  Secara singkat adalah dengan cara membangun aliansi dengan orang lain, menjual ide-ide anda dan atasilah masalah-masalah yang terjadi. 

Menurut saya, hal tersebut belumlah cukup, masih perlu ditambahkan lagi sebagai pedoman agar kita tidak terjebak ke dalam politik kotor yaitu:

  • Pertimbangkan dampaknya terhadap orang lain, minimal tindakan anda adalah win-not lose, artinya tidak merugikan orang lain, (rugi dari sudut pandang orang lain bukan dari sudut pandang anda), berhentilah pada kondisi "TIDAK UNTUNG DAN TIDAK RUGI", jika lewat (lebih rendah) dari itu maka politik kotorlah yang terjadi. 
  • Prioritaskan target manfaat tindakan anda adalah untuk kepentingan bersama (mayoritas), jangan dahulukan kepentingan anda sebelum kepentingan mayoritas tercapai / terformulasikan dengan baik.

Oke, kita lanjutkan tips dari Kelly Pate Dwyer sebagaimana tulisan berikut:

1. Hand Off - Jangan mengakui suatu sukses sebagai keberhasilan pribadi, akuilah sebagai KEBERHASILAN TEAM di depan orang lain. Maka tim kerja anda akan mendukung program kerja anda sepenuh hati. 

2. Huddle - Jalinlah pertemanan, ajak rekan anda sekedar minum kopi dan bicara hal-hal yang ringan. Yang penting adalah terjalinnya hubungan baik sebagai teman. Apabila sudah menjadi teman akan lebih mudah "meminta" dukungannya pada saat anda membutuhkan bukan ?

3. Critical Inch. Jadilah orang yang proaktif melibatkan diri dalam masalah yang penting dan cepat bertindak. Apabila anda sukses, maka anda akan memposisikan diri anda sebagai seorang yang penuh dengan SOLUSI dan BERTINDAK, bukan sekedar "omdong" alias omong doang. 

Ingat, kebanyakan kita (termasuk saya sendiri kali..he..he..he.)  lebih suka membicarakan masalah, daripada membicarakan langkah tindakan solusi yang konkrit, dan segera bertindak. Perhatikan sekitar anda .. maka anda akan terkejut…

4. Power Reverse. Kadang, terjadi penolakan dalam pelaksanaan suatu program / kegiatan. Daripada anda "beroposisi" dengan yang lain lebih baik anda menggunakan "reverse psychology". Misalkan penolakan terhadap program pengetatan absensi di suatu perusahaan, maka lebih baik anda memulai dengan "Program ini telah dilaksanakan di banyak perusahaan selain perusahaan kita, dan mereka mampu meningkatkan produktifitas kerjanya sehingga angka penjualan mereka tumbuh dengan cepat. Tapi mungkin program ini belum siap kita terapkan di sini,  ada yang punya ide mengenai hal ini dan kaitannya dengan peningkatan produktiftas penjualan kita ???" 

Bawalah arah diskusi kepada suatu kesimpulan bahwa tidak ada alternatif selain menjalankan Program yang anda tawarkan.  

5. Option. Ada kalanya rekan kerja kita menolak mengerjakan apa yang kita minta. Mintalah alternatif pilihan dari mereka dan pertimbangan yang digunakannya.  Usahakan alternatif yang mereka pilih akan menghasilkan "hasil akhir" sebagaimana yang anda inginkan.

6. Silent Strategy. Seringkali pada saat kita mempresentasikan suatu ide, ada yang melakukan "devil advocate" yaitu mencoba untuk memberikan pertimbangan sebaliknya dari yang anda ajukan. Langkah terbaik adalah diam (diam adalah emas..:-), dan merespon dengan kata-kata "..mmm..oke..ya..saya mengerti.." dan jangan adu argumentasi.

Semakin banyak anda diam maka yang lain, kemungkinan besar akan "tergerak" untuk membela anda. Kemudian sampaikan bahwa idenya bagus dan lempar ke forum (bertanya), bagaimana kita bisa menyatukan pendapat yang sama-sama bagus ini menjadi satu solusi..(pastikan anda gali dengan baik langkah-langkah tindakannya, hasil yang akan dicapai, resiko / hambatan yang mungkin timbul dan konsekuensi perubahan biaya yang ditimbulkan..).

7. Change Meeting. Membangun kesan baik dengan bertanya. Misalkan pada suatu pertemuan / rapat seorang pimpinanyang berpengaruh menanyakan sesuatu khabar anda sebelum dimulainya rapat, jawablah secara singkat, dan sambung dengan menyebutkan "sesuatu hal" yang penting dan terkait dengan agenda meeting namun dalam bahasa positif, setelah stop bicara. Maka pimpinan tersebut akan segera menanggapi dan bicara mengenai komentar anda tadi, dan biasanya peserta  lainnya akan ikut menanggapinya. Kesan yang anda kirimkan menjadi positif karena anda "nampak" perhatian dengan "topik yang penting secara positif". 

Namun anda perlu benar2 siap dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan topik / agenda meeting dan orang-orang yang ada di dalam meeting khususnya mengenai apa yang sedang mereka kerjakan dan sampai sejauh mana perkembangan pekerjaan mereka. Hindari penggunaan bahasa negatif atau pernyataan yang membawa pada makna negatif. Ingat, target anda adalah mendapatkan kesan baik dari peserta rapat lainnya.

Ooops………….  Berpolitik di kantor ?   Ogah ah… 

Ya .. itulah persepsi yang saat ini masih banyak diyakini oleh banyak karyawan, meskipun ironisnya, secara tidak di sadari, mereka juga melakukan "politik" praktis di pekerjaan mereka sehari-hari.  Bahkan ada yang sampai tingkat yang memprihatinkan dan menyedihkan.

Nah supaya kita tidak melakukan praktek-praktek politik kotor sebagaimana "yang diyakini oleh masyarakat bahwa politik itu kotor", ada baiknya kita kenali tips ber POLITIK SECARA SEHAT di kantor.

All office politicking relies upon a simple concept:

the biggest help (and the biggest hindrance) to reaching your goals is other people.

Tulisan Kelly Pate Dwyer di website BNet ini saya coba terjemahkan supaya dapat lebih berguna bagi teman-teman praktisi HR lainnya.

Tindakan dan perbuatan apa saja yang perlu dilakukan agar memenangkan "keberpihakan teman" dan mampu memberikan pengaruh terhadap orang lain ?  Secara singkat adalah dengan cara membangun aliansi dengan orang lain, menjual ide-ide anda dan atasilah masalah-masalah yang terjadi. 

Menurut saya, hal tersebut belumlah cukup, masih perlu ditambahkan lagi sebagai pedoman agar kita tidak terjebak ke dalam politik kotor yaitu:

  • Pertimbangkan dampaknya terhadap orang lain, minimal tindakan anda adalah win-not lose, artinya tidak merugikan orang lain, (rugi dari sudut pandang orang lain bukan dari sudut pandang anda), berhentilah pada kondisi "TIDAK UNTUNG DAN TIDAK RUGI", jika lewat (lebih rendah) dari itu maka politik kotorlah yang terjadi. 
  • Prioritaskan target manfaat tindakan anda adalah untuk kepentingan bersama (mayoritas), jangan dahulukan kepentingan anda sebelum kepentingan mayoritas tercapai / terformulasikan dengan baik.

Oke, kita lanjutkan tips dari Kelly Pate Dwyer sebagaimana tulisan berikut:

1. Hand Off - Jangan mengakui suatu sukses sebagai keberhasilan pribadi, akuilah sebagai KEBERHASILAN TEAM di depan orang lain. Maka tim kerja anda akan mendukung program kerja anda sepenuh hati. 

2. Huddle - Jalinlah pertemanan, ajak rekan anda sekedar minum kopi dan bicara hal-hal yang ringan. Yang penting adalah terjalinnya hubungan baik sebagai teman. Apabila sudah menjadi teman akan lebih mudah "meminta" dukungannya pada saat anda membutuhkan bukan ?

3. Critical Inch. Jadilah orang yang proaktif melibatkan diri dalam masalah yang penting dan cepat bertindak. Apabila anda sukses, maka anda akan memposisikan diri anda sebagai seorang yang penuh dengan SOLUSI dan BERTINDAK, bukan sekedar "omdong" alias omong doang. 

Ingat, kebanyakan kita (termasuk saya sendiri kali..he..he..he.)  lebih suka membicarakan masalah, daripada membicarakan langkah tindakan solusi yang konkrit, dan segera bertindak. Perhatikan sekitar anda .. maka anda akan terkejut…

4. Power Reverse. Kadang, terjadi penolakan dalam pelaksanaan suatu program / kegiatan. Daripada anda "beroposisi" dengan yang lain lebih baik anda menggunakan "reverse psychology". Misalkan penolakan terhadap program pengetatan absensi di suatu perusahaan, maka lebih baik anda memulai dengan "Program ini telah dilaksanakan di banyak perusahaan selain perusahaan kita, dan mereka mampu meningkatkan produktifitas kerjanya sehingga angka penjualan mereka tumbuh dengan cepat. Tapi mungkin program ini belum siap kita terapkan di sini,  ada yang punya ide mengenai hal ini dan kaitannya dengan peningkatan produktiftas penjualan kita ???" 

Bawalah arah diskusi kepada suatu kesimpulan bahwa tidak ada alternatif selain menjalankan Program yang anda tawarkan.  

5. Option. Ada kalanya rekan kerja kita menolak mengerjakan apa yang kita minta. Mintalah alternatif pilihan dari mereka dan pertimbangan yang digunakannya.  Usahakan alternatif yang mereka pilih akan menghasilkan "hasil akhir" sebagaimana yang anda inginkan.

6. Silent Strategy. Seringkali pada saat kita mempresentasikan suatu ide, ada yang melakukan "devil advocate" yaitu mencoba untuk memberikan pertimbangan sebaliknya dari yang anda ajukan. Langkah terbaik adalah diam (diam adalah emas..:-), dan merespon dengan kata-kata "..mmm..oke..ya..saya mengerti.." dan jangan adu argumentasi.

Semakin banyak anda diam maka yang lain, kemungkinan besar akan "tergerak" untuk membela anda. Kemudian sampaikan bahwa idenya bagus dan lempar ke forum (bertanya), bagaimana kita bisa menyatukan pendapat yang sama-sama bagus ini menjadi satu solusi..(pastikan anda gali dengan baik langkah-langkah tindakannya, hasil yang akan dicapai, resiko / hambatan yang mungkin timbul dan konsekuensi perubahan biaya yang ditimbulkan..).

7. Change Meeting. Membangun kesan baik dengan bertanya. Misalkan pada suatu pertemuan / rapat seorang pimpinanyang berpengaruh menanyakan sesuatu khabar anda sebelum dimulainya rapat, jawablah secara singkat, dan sambung dengan menyebutkan "sesuatu hal" yang penting dan terkait dengan agenda meeting namun dalam bahasa positif, setelah stop bicara. Maka pimpinan tersebut akan segera menanggapi dan bicara mengenai komentar anda tadi, dan biasanya peserta  lainnya akan ikut menanggapinya. Kesan yang anda kirimkan menjadi positif karena anda "nampak" perhatian dengan "topik yang penting secara positif". 

Namun anda perlu benar2 siap dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan topik / agenda meeting dan orang-orang yang ada di dalam meeting khususnya mengenai apa yang sedang mereka kerjakan dan sampai sejauh mana perkembangan pekerjaan mereka. Hindari penggunaan bahasa negatif atau pernyataan yang membawa pada makna negatif. Ingat, target anda adalah mendapatkan kesan baik dari peserta rapat lainnya.

http://www.siaga24.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=103

Mantan TKI Jadi Pengusaha Roti

Mantan TKI Jadi Pengusaha Roti

Tahun 1998 Mistar adalah pemuda gamang yang baru lulus diploma tiga Jurusan Tata Niaga, Akademi Maritim Belawan, Sumatera Utara. Krisis ekonomi di dalam negeri membuat dia memutuskan bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja Indonesia atau TKI. Kini, Mistar dikenal sebagai pengusaha roti dengan 70 karyawan yang bergantung pada usahanya itu.

Usaha roti berlabel Family milik Mistar terletak di Dusun V, Pasar I, Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Hinai, Kabupaten Langkat, Sumut. Rumah sekaligus pabrik rotinya itu dipenuhi dengan tumpukan kayu bakar dan berkarung-karung roti kering retur.

"Sebenarnya banyak mantan TKI yang berhasil. Beberapa teman saya dulu juga sudah membuka usaha sendiri dan maju," tutur Mistar, bapak dua anak itu, merendah.

Selepas menyelesaikan program D-3, Mistar mengaku bingung mau bekerja apa dan di mana. Apalagi saat itu tahun 1998, Indonesia tengah dilanda krisis moneter dan banyak karyawan yang justru terkena pemutusan hubungan kerja, termasuk sang ayah, Muhammad Sari, dan pakciknya, Suryadi.

Mereka semula bekerja di sebuah pabrik roti di Tanjungpura. Toko roti itu tutup. Sang ayah lalu membuka kedai kebutuhan pokok di rumah mereka yang berbatasan dengan kebun kelapa sawit PTPN II Tanjung Beringin, sedangkan Suryadi bekerja mocok-mocok pada orang lain. "Saya sempat mau bekerja di pabrik elektronik di Tanjung Morawa," kata Mistar.

Namun, saat dia hendak mengikuti pelatihan ke Jakarta, tes kesehatannya tidak memenuhi syarat. Maka, Mistar pun kembali ke rumah. Tahun 1999, dia memutuskan mendaftarkan diri menjadi TKI ke Malaysia.

Motivasi kerjanya sejak awal memang tidak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan itu sendiri, tetapi lebih guna mengumpulkan modal untuk membuka usaha di kampungnya sendiri. "Banyak anggota keluarga kami yang tidak punya pekerjaan. Saya juga tidak pernah berpikir untuk menjadi pegawai negeri sipil atau tentara," kata Mistar.

Negeri Sembilan

Mistar kemudian diterima bekerja di pabrik tekstil di Negeri Sembilan, Malaysia. Ketika itu dia mendapat gaji pokok sebesar 430 ringgit per bulan. Namun, pada praktiknya dalam sebulan ia bisa menerima sampai 1.000 ringgit karena banyak kerja lembur.

Dia bercerita, banyak temannya sesama TKI yang menggunakan uang hasil kerja di Malaysia itu untuk membeli tanah atau membangun rumah. Namun, setelah kembali ke Tanah Air mereka justru tidak mempunyai pekerjaan. Kondisi seperti itu menambah motivasi Mistar untuk membuka usaha sendiri. "Rencana saya itu cuma dua tahun bekerja di Malaysia, tetapi uangnya belum terkumpul cukup. Jadinya selama tiga tahun saya menjadi TKI di sana," katanya.

Mistar mengenang, sekitar delapan bulan sebelum kembali ke kampung halaman pada 2002, dia mengirimkan uang Rp 20 juta kepada sang bapak. Uang itu digunakan oleh ayah dan pakciknya untuk modal membuka usaha roti yang kemudian diberi merek Family.

Pilihan usaha roti diputuskan karena pakciknya memang ahli dalam pembuatan roti. Sejak tahun 1970-an, Pakcik Suryadi bekerja pada seorang pengusaha roti keturunan Tionghoa.

"Dulu, kami ini memang keluarga kuli (pabrik) roti. Kebetulan juga saat itu bahan baku pembuatan roti bisa diutang pada toko bahan pokok di Tanjungpura. Minggu ini kami ambil bahan untuk roti, satu minggu kemudian baru dibayar," ceritanya.

Mistar memilih nama Family untuk produk rotinya karena para pekerja dalam usaha ini adalah anggota keluarga besarnya. "Mulai dari pakcik, bapak, sampai tiga adik saya, semuanya terlibat dalam usaha roti ini," kata Mistar yang produk rotinya menyasar konsumen kelas menengah-bawah dengan harga eceran rata-rata Rp 500 per buah.

Pinjam bank syariah

Uang hasil kerja Mistar sebagai TKI di Malaysia relatif habis digunakan untuk membeli peralatan pembuatan roti dan membuat bangunan berdinding anyaman bambu berlantai semen di belakang rumah orangtuanya.

Di sini ada tungku besar dari bata dengan bahan bakar kayu. Ada pula mesin penggilas adonan dari besi yang ditempa sendiri. Ongkos pembuatan mesin penggilas adonan dengan bantuan bengkel las itu sekitar Rp 2,5 juta. Alat serupa ini bila dibeli di toko bisa sampai Rp 6 juta.

Mistar juga membangun ruangan penguapan kue. Ruang seluas sekitar 2 x 2 meter itu beratap rendah dan ditutup gorden. Uapnya berasal dari dua kompor yang terus mendidihkan panci berisi air. Uap air dari panci itu yang membuat suhu udara di kamar penguapan itu selalu hangat.

Pelan-pelan usaha roti Family terus berkembang. Mistar pun memberanikan diri menambah modal dengan meminjam dari bank.

"Namun, baru setelah usaha berjalan kami pinjam uang ke bank. Kami pinjam Rp 50 juta dari Bank Sumut Syariah," cerita Mistar. Selain itu, dia juga punya pinjaman Rp 10 juta pada Lembaga Peningkatan dan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (LP2KM).

Karyawan bertambah

Waktu baru membuka usaha pada 2002, produksi roti Family membutuhkan lima hingga enam karung terigu setiap hari dengan jumlah karyawan di bagian produksi 10 orang. Kini, ia membutuhkan sedikitnya 15 karung terigu per hari dengan jumlah karyawan 70 orang.

Dari jumlah karyawan itu, 25 orang bekerja di bidang produksi dan 25 orang lainnya menjadi tenaga pemasaran yang membawa roti Family ke sejumlah warung di Langkat, Binjai, Serdang Bedagai, Deli Serdang, hingga Aceh Timur. Adapun 20 orang adalah pekerja lepas untuk pembungkusan roti.

Pekerja produksi digaji Rp 20.000-Rp 40.000 per hari, sedangkan tenaga pemasaran dibayar berdasar bagi hasil penjualan.

Mistar juga menampung pemasaran untuk tiga produsen roti kering di dusunnya. Salah satu di antara produsen roti kering milik Tina Melinda (32), sesama mantan TKI di Malaysia yang mempunyai 26 karyawan.

Untuk meningkatkan kualitas produk, setiap tiga bulan sekali petugas dari dinas kesehatan datang untuk mengecek kualitas pangan produksinya.

"Saya banyak dibantu BP3TKI (Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI) mengikuti pelatihan. Para mantan TKI juga sering bikin pertemuan di sini," kata Mistar tentang mereka yang datang ke Desa Tanjung Beringin untuk studi banding, termasuk dari Bandung, Jawa Barat.

Meski telah tujuh tahun menjadi juragan roti, Mistar belum pernah melihat pabrik roti modern, apalagi punya jaringan dalam industri pangan nasional. Namun, setidaknya sebagai mantan TKI, dia bisa membuka peluang kerja bagi banyak orang di kampungnya.

(rahmat saepulloh/ kcm)

http://www.karir-up.com/2009/09/mantan-tki-jadi-pengusaha-roti/

Alasan/sebab PHK

Alasan/sebab PHK
 
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan sebuah aktifitas yang sangat dihindari oleh pekerja dan pemberi kerja. Sifat PHK ini adalah counter productive dengan produktifitas karyawan.
Untuk itu terdapat beberapa macam hal yang mendasari pemutusan hubungan kerja. untuk itu mari kita bahas satu persatu.
 
Resign / Mengundurkan Diri
Resign / mengundurkan diri ini terdiri dari 2 macam yaitu resign secara sukarela dan resign secara terpaksa. Resign secara sukarela pada umumnya karena mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di perusahaan lain atau karena ingin keluar dan menjadi entrepreneur atau dirumah saja. Sedangkan resign secara terpaksa adalah pengunduran diri yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti melakukan kesalahan berat/fatal yang apabila tidak mengundurkan diri, akibatnya bisa ke hotel prodeo, dsb
 
PHK 3 Month's Probation
PHK ini dikarenakan si kandidat tidak memenuhi kualifikasi di perusahaan tersebut setelah 3 bulan pertama bekerja sehingga dinyatakan tidak lulus.
 
PHK Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT)
Setelah masa kerja karyawan PKWT telah berakhir maka putuslah hubungan dengan perusahaan yang secara otomatis mengakibatkan PHK 
 
PHK karena Kesalahan Berat
Jenis pemutusan ini adalah karena pekerja/karyawan telah melakukan kesalahan yang sudah dikategorikan dalam peraturan perusahaan / perjanjian kerja bersama. Oleh karena itu langkah selanjutnya adalah melalui mediasi bipartit atau melaui PHI.
 
PHK by Request
Jenis ini adalah pemutusan yang dilakukan pengusaha karena permintaan dari pekerja. Ada 2 macam kategori untuk hal ini yaitu permintaan PHK oleh pekerja karena keinginan sendiri (tidak bermasalah apapun) dan tentu saja hal ini tergantung dari pengusaha apakah mau menerima atau tidak. Jika tidak maka kondisinya adalah PHK by Resign. Kategori kedua adalah PHK karena permintaan sendiri/pengusaha karena bermasalah secara hukum.
 
PHK Unwanted
Jenis PHK ini adalah PHK yang tidak memiliki sebab akibat, tidak ada masalah, tidak ada problem ketenagakerjaan. Pada prinsipnya adalah pengusaha tidak menghendaki pekerja tersebut berada lagi di perusahaannya.
 
PHK Massal
Biasanya dikarenakan perusahaan mengalami bangkrut, rugi, force majeure, bermasalah dengan ketenagakerjaan di Indonesia dan efisiensi. tentu saja hal ini perlu adanya audit perusahaan agar bisa dikatakan demikian.
 
PHK by Merger & Akuisisi 
Terjadi penggabungan dan atau peleburan dua buah perusahaan menjadi satu dan beberapa pekerja akan mengalami pemutusan karena posisinya yang terlalu banyak dan tidak efisien.
 
PHK by Nature
Dikarenakan telah memasuki masa usia pensiun yang sudah ditetapkan perusahaan. Pada umumnya di kisaran usia 55-60 tahun
 
PHK by Sickness
Jenis ini dikarenakan pekerja mengalami sakit yang berkepanjangan dan telah melewati 1 tahun masa pengobatan dan tidak mengalami kemajuan/sembuh.
 
PHK by Death
Jenis ini dikarenakan pekerja meninggal dunia
 
­Mudah-mudahan informasi ini bermanfaat.

Hubungan Industrial

Hubungan Industrial
 
Sesuai dengan Undang Undang Ketenagakerjaan no.13 tahun 2000, maka konsep dari Hubungan Industrial adalah :
 
  1. Serikat  Pekerja / Serikat  Buruh
  2. Organisasi  Pengusaha
  3. Lembaga Kerja Sama Bipartit
  4. Lembaga  Kerja Sama Tripartit
  5. Peraturan  Perusahaan
  6. Perjanjian Kerja Bersama
  7. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
  8. Perselisihan Hubungan Industrial
  9. Mogok Kerja
10. Penutupan Perusahaan (lock-out)
 
Lebih jauhnya dapat anda lihat pada pasal-pasal di undang Undang Ketenagakerjaan No.13/2000 Pasal 102 - 149
Lain waktu akan kita bahas seluruh materi tersebut. 

Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia

Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia

Oleh: Gayuh Arya Hardika, S.H. 

[Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum UGM dan sekarang menjadi volunteer di Trade Union Rights Centre (TURC) Jakarta. Artikel ini merupakan pendapat pribadi] 

 Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menggantikan keberadaan P4D/P. Keberadaan PHI merupakan amanat dari UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, tetapi PHI baru diresmikan pada bulan Januari 2006. Dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2004 tersebut maka UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (LN Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (LN Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara semua peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUPHI.

Sejak awal keberadaannya, PHI telah menuai kritik yang berkaitan dengan, pertama, digunakannya hukum acara perdata sebagai dasar beracara di PHI. Ini yang menjadi persoalan, karena dengan demikian hal tersebut dapat mempersempit kesempatan buruh untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-hak mereka yang dilanggar. Dari pengalaman selama ini, banyak perkara perburuhan yang diajukan ke PHI tidak dapat diterima karena masalah formal gugatan. Ini mengindikasikan bahwa PHI terlalu ketat berpegang pada hukum acara perdata. Persoalannya, tidak semua pihak yang berperkara di PHI, terutama pihak buruh, menguasai hukum acara perdata.Hal ini terbukti ketika UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI mulai efektif berlaku dan sejak PHI di ibu kota 33 provinsi dibentuk pada tahun 2006 hingga tahun 2008. Dalam banyak kasus, PHI mempunyai karakter terlalu ketat pada aturan prosedural yang mana hal itu [telah] menghambat akses buruh, khususnya penggunaan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI itu sendiri.Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak Serikat Buruh yang kekurangan—bahkan hampir tidak mempunyai sama sekali—sumber daya manusia yang mampu memahami teknis hukum beracara di pengadilan. Jangankan yang berpengalaman, orang yang paham tentang sistem dan mempunyai pengetahuan yang cukup akan teknik beracara masih sangat minim di kalangan Serikat Buruh. Terutama serikat buruh kecil dan/atau di tingkat basis (unit kerja). 

Kedua, terkait dengan kemampuan PHI untuk menyelesaikan beragam perkara perselisihan perburuhan secara adil. Di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI disebutkan bahwa perselisihan yang merupakan kompetensi absolut dari PHI ialah meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh/organisasi pengusaha. 

Pada konteks demikian itu, PHI dituntut tidak hanya adil dalam mengambil keputusan, melainkan juga harus sensitif dengan persoalan dan pelbagai perlakuan tidak adil yang dialami buruh selama ini. Banyak ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak buruh yang telah dijamin hukum selama ini sukar dibuktikan. Sehingga apabila kemudian PHI hanya melihat persoalan secara legalistik-formil dan terlalu kaku pada hukum acara yang berlaku, maka banyak persoalan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas yang bersandarkan pada keadilan substansial. 

Ketiga, berkaitan dengan mental korup yang melanda sebagian aparat penegak hukum, dan masih kentalnya mafia peradilan di tubuh lembaga yudikatif. Keadaan yang demikian ini dikhawatirkan dapat menyebabkan PHI "terbeli" sehingga tidak pernah serius menangani perkara yang diajukan oleh buruh. 

Namun demikian, di sisi yang lain pada saat yang bersamaan, banyak harapan ditujukan kepada PHI. Secara normatif, ada beberapa ketentuan pasal dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang sebenarnya merupakan 'terobosan' bagi kekakuan hukum acara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Maklum, sesuai Pasal 57 UU PPHI, hukum acara yang berlaku di PHI adalah hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain. Misalnya di dalam Pasal 96 Ayat (1) UU PPHI. Pasal ini merumuskan, majelis hakim harus segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja. Putusan sela ini dijatuhkan pada persidangan pertama jika nyata-nyata pengusaha tidak membayar upah dan hak lainnya selama proses PHK. Bahkan untuk mendukung putusan sela yang dijatuhkan hakim, UU NO. 2 TAHUN 2004 TENTANG PPHI pada Pasal 96 ayat (3) memberikan wewenang kepada hakim untuk memerintahkan sita jaminan atas aset perusahaan. 

Walaupun secara umum PHI menggunakan hukum acara perdata, tetapi menurut Pasal 91 Ayat (1), hakim dapat lebih 'aktif' dalam proses pembuktian di persidangan. Dengan lain kata, PHI dapat mengabaikan asas 'siapa mendalilkan dia harus membuktikan', hakim bisa memerintahkan siapa pun untuk menyingkap dokumen, seperti buku dan surat-surat yang diperlukan. 

Terobosan lain yang di bawa UU PPHI ialah Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 108. Ketentuan di dalam Pasal 108 ini mirip dengan 'putusan serta-merta' di dalam hukum acara perdata, yaitu putusan yang dapat langsung dieksekusi walaupun belum inkracht. 

Berbagai 'terobosan' hukum pada konteks upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut pada dasarnya merupakan sesuatu yang lumrah. Berangkat dari pemahaman bahwa posisi tawar yang dimiliki buruh tidak setara dengan pengusaha, maka sudah seharusnya apabila terdapat ketentuan khusus di dalam PHI. 

Namun demikian dalam praktik, ketentuan-ketentuan istimewa yang tertuang dalam UU PPHI tak pernah dilaksanakan di persidangan. Sebagai contoh, belum pernah ada hakim yang mengeluarkan putusan sela di persidangan pertama yang menghukum pengusaha membayar upah selama proses. Apalagi sampai keluarnya penetapan majelis hakim untuk melakukan sita jaminan terhadap perusahaan. Amat jarang, kalau tidak mau dikatakan tidak pernah ada, hakim yang aktif dan berinisiatif untuk memerintahkan para pihak menyingkap dokumen saat proses pembuktian berlangsung. Juga belum pernah ada hakim yang dalam amar putusannya menyatakan, "Putusan ini dapat dijatuhkan terlebih dahulu, meskipun ada perlawanan atau kasasi."Selain itu, PHI dinilai telah gagal melaksanakan tugasnya untuk memutuskan secara cepat, tepat, adil dan murah. Soal lain yang perlu dicermati dan segera dicarikan solusi adalah soal tata cara pengajuan gugatan terhadap suatu perusahaan oleh dua atau lebih serikat buruh yang berada di lokasi yang berbeda pula dengan pokok perkara yang sama. 

Hal ini untuk menghindari putusan ganda seperti yang terjadi dalam perkara perselisihan kepentingan di PT. Bridgestone Tire Indonesia, di mana ada dua PHI sama-sama memeriksa perkara yang sama, tetapi memberikan putusan yang berbeda.Dari sekian banyak persoalan tersebut, pertanyaan yang layak untuk diketengahkan adalah apa penyebab dari kinerja PHI yang belum sesuai dengan harapan. Apakah berkaitan dengan pandangan yang berujung pada kekeliruan konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial? Apakah karena persoalan sumber daya manusianya? Apakah persoalan yang terdapat pada tataran regulasi yang megatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, baik dari segi hukum formal maupun materiil? Ataukah justru keberadaan PHI itu sendiri yang menjadi pokok persoalan? 

Jika dalam kenyataannya PHI beserta mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan yang ada didalamnya dipandang bukan sebagai sistem yang efektif dan adil bagi buruh, lantas seperti apa alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lebih cocok bagi kita?

http://www.legalitas.org/?q=content/quo-vadis-pengadilan-hubungan-industrial-indonesia

Custom Search